Review Buku
by: eLla mAlBeLla
(^_^'')
1. Identitas Buku
a. Judul : Aisyah The Inspiring Woman
b. Penulis : K.H. Ubaidillah Saiful Akhyar, Lc.
c. Penerbit : PT Pustaka Insan Madani
d. Tahun Terbit : Maret-2010
e. ISBN : 978-602-96492-0-8
f. Hlm : 126
g. Ukuran : 13 x 20.5
h. Harga Buku : Rp 28.000,-
i2. Ikhtisair
Aisyah The Inspiring Woman sebuah buku yang menggetarkan jiwa, ditulis oleh seorang kiyai yang bernama K.H. U Ubaidillah Saiful Akhyar, Lc. Buku ini sangat menyentuh jiwa dan memberikan inspirasi untuk menciptakan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Dalam buku tersebut mengisahkan seoarang istri Rasulullah yang mana keteladannya harus dicontoh oleh kaum muslimah, yakni Sayyidatina Aisyah r.a..
Aisyah lahir pada bulan Syawal tahun ke-9 sebelum hijrah, bertepatan pada bulan Juli tahun 614 Masehi, yaitu akhir tahun ke-5 kenabian. Rumah Abu Bakar saat itu menjadi tempat yang penuh berkah, tempat makna tertinggi kemuliaan, kebahagiaan, kehormatan, dan kesucian, dimana cahaya mentari Islam pertama terpancar dengan terang.
Dari perkembangan fisik, Aisyah termasuk perempuan yang sangat cepat tumbuh dan berkembang. Wanita berkulit putih dan berparas elok dan cantik. Oleh karena itu, Rosulullah sering memanggilnya dengan julukan Humaira’ (yang pipinya kemerah-merahan). Ia juga perempuan yang manis, tubuhnya langsing, matanya besar, rambutnya keriting, dan wajahnya cerah.
Tanda-tanda ketinggian derajat dan kebahagiaan telah tampak sejak Aisyah masih kecil pada perilaku dan grak-geriknya. Namun, seorang anak kecil tetaplah anak kecil, dia tetap suka bermain-main. Walau masih kecil, Aisyah tidak lupa tetap menjaga etika dan adab sopan santun ajaran Rasulullah di setiap kesempatan.
Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah merupakan perintah langsung dari Allah, setelah wafatnya Khadijah. Setelah dua tahun wafatnya Khadijah, turunlah wahyu kepada kepada Rasulullah untuk menikahi Aisyah, kemudian Rasulullah segera mendatangi Abu Bakar dan istrinya, mendengar kabar itu, mereka sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka. Maka dengan segera disuruhlah Aisyah menemui beliau.
Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah terjadi di Mekkah sebelum hjirah pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian. Ketika dinikahi Rasulullah, Aisyah masih sangat belia. Di antara istri-istri yang beliau nikahi, hanyalah Aisyah yang masih dalam keadaan perawan. Aisyah menikah pada usia 6 tahun. Tujuan inti dari pernikahan dini ini adalah untuk memperkuat hubungan dan mempererat ikatan kekhalifahan dan kenabian. Pada waktu itu, cuaca panas yang biasa dialami bangsa Arab di negerinya menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak perempuan menjadi pesat di satu sisi. Di sisi lain, pada sosok pribadi yang menonjol, berbakat khusus, dan berpotensi luar biasa dalam mengembangkan kemampuan otak dan pikiran, pada tubuh mereka terdapat persiapan sempurna untuk tumbuh dan berkembang secara dini.
Pada waktu itu, karena Aisyah masih gadis kecil, maka yang dilangsungkan baru akad nikah, sedangkan perkawinan akan dilangsungkan dua tahun kemudian. Selama itu pula beliau belum berkumpul dengan Aisyah. Bahkan beliau membiarkan Aisyah bermain-main dengan teman-temannya. Kemudian, ketika Aisyah berusaha 9 tahun, Rasulullah menyempurnakan pernikahannya dengan Aisyah. Dalam pernikahan itu, Rasulullah memberikan maskawin 500 dirham. Setelah pernikahan itu, Aisyah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah.
Pernikahan seorang tokoh perempuan dunia tersebut dilangsungkan secara sederhana dan jauh dari hura-hura. Hal ini mengandung teladan yang baik dan contoh yang bagus bagi seluruh muslimah. Di dalamnya terkandung hikmah dan nasehat bagi mereka yang menganggap penikahan sebagai problem dewasa ini, yang hanya menjadi simbol kemubaziran dan hura-hura untuk menuruti hawa nafsu dan kehendak yang berlebihan.
Dalam hidupnya yang penuh jihad, Aisyah wafat dikarenakan sakit pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 Hijriah. Ia dimakamkan di Baqi’. Aisyah dimakamkan pada malam itu juga (malam Selasa tanggal 17 Ramadhan) setelah shalat witir. Ketika itu, Abu Hurairah datang lalu menshalati jenazah Aisyah, lalu orang-orang pun berkumpul, para penduduk yang tinggal di kawasan-kawasan atas pun turun dan datang melayat. Tidak ada seorang pun yang ketika itu meninggal dunia dilayat oleh sebegitu banyak orang melebihi pelayat kematian Aisyah.
Disamping itu, buku ini juga memberikan gambaran bagaimana sosok istri mempersembahkan ketulusan cinta dan totalitas kesetiaannya terhadap sang suami seraya mewarnai bahtera rumah tangga dengan kelembutan dan akhlak mulia dan tetap merujuk pada keteladanan Aisyah. Diantaranya…
Rahasia kecantikan sang bidadari, cantik adalah sebuah label yang disandarkan kepada seorang perempuan yang berparas menawan. Kecantikan fisik merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa. Sebagai cobaan apakah ia mampu mensyukurinya, ataukah malah menjerumuskannya ke jalan yang menyimpang dari aturan.
Bagi wanita beretika, kecantikan hanya dipersembahkan untuk suami tercinta. Ia akan menghias wajahnya dan seluruh tubuhnya hanya untuk suaminya tanpa mengijinkan seorangpun menjamah kesuciannya. Ia kan membalut jiwanya dengan jubah keimanan. Dan ia tutupi kalbunya dengan cadar ketakwaan. Keelokan fisik harus diimbangi dengan kecantikan batin.
Rahasia kecantikan batin Aisyah berikut ini patut untuk kita teladani.
· Aisyah menggali aura kecantikannya dengan mengerjakan ibadah sholat, baik itu sholat fardlu maupun sunnah, secara istiqomah.
· Aisyah selalu mengisi hari-harinya dengan berdzikir dan bertasbih. Ia tak pernah membiarkan lidahnya lalai mengucap dzikir.
· Aisyah slalu menghiasi hari-harinya dengan membaca Al-Qur’an.
· Aisyah selalu menggali kecantikan batinnya dengan berpuasa.
· Aisya mempercantik batinnya dengan perasaan taku kepada Allah.
Kami juga menemukan cerita yang sangat menarik perhatian kami dalam buku ini. Imam Bukhiri, Muslim, dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ummul Mukminin. Pada suatu hari, Aisyah bercaerita kepada Rasulullah. “ Ada sebelas wanita sedang duduk bersama sambil berbagi cerita. Mereka sepakat untuk tidak saling menutupi sedikit pun tentang suami mereka.”
Dari wanita pertama hingga wanita ke-tujuh menceritakan tentang kekecewaannya terhadap suami mereka. Sedangkan wanita ke-delapan sampai sepuluh, bercerita tentang hal yang membuat mereka kagum terhadap suami masing-masing. Dan cerita dari wanita ke-sebelas inilah yang menyentuh hati. Ia berkata, “Suamiku bernama Abu Zar’in. siapakah dia? Dia yang telah memakaikan perhisan di kedua telingaku dan membuat lemak lenganku menjadi gemuk. Ia sangat menghormatiku hingga aku pun merasa terhormat menurut penglihatanku. Aku yang ia temukan pertama kali berasal dari keluarga penggembala kambing di sudut gunung, ia angkat aku menjadi bagian dari keluarga pemilik kuda dan unta, keluarga pemilik tanah yang tinggal menikmati hasil panen. Setiap kali aku mengajak ia bicara, ia tidak melontarkan kata-kata kasar. Setiap kali aku tidur, aku tidak pernah bangun kesiangan. Aku bias minum sampai puas dan kenyang. Peralatan rumah tangga ibunda Abu Zar’in, ibu mertuaku, sangat banyak dan rumahnya pun sangat luas. Putra kami, Ibnu Abi Zarin, adalah anak laki-laki yang ramping seperti tangkai kurma yang terjulur. Ia sudah merasa kenyang hanya dengan memakan sepotong kaki kambing (sedikit nafsu makannya). Putrid kami, binti Abi Zar’in, adalah anak perempuan yang sangat mematuhi ayah ibunya. Ia selalu bergelimang kemakmuran dan membuat teman-temannya iri. Hamba sahaya Abu Zar’in adalah pelayan wanita yang tidak pernah mengekspos rahasia-rahasia kami, tidak pernah merusak kebahagiaan kami, dan tidak pernah membiarkan rumah kami kotor dan tidak terurus.”
“Pada suatu hari, Abu Zar’in keluar rumah. Saat itu kebetulan masa-masa ketika susu produksi menjadi mentega. Ia berjumpa dengan seorang janda yang sedang menemani kedua putranya bermain. Tak lama kemudian Abu Zar’in menceraikanku dan menikah dengan wanita itu. Sepeninggal Abu Zar’in, aku pun menikah dengan seorang laki-laki terhormat. Ia juga memperlakukanku sangat istimewa. Tetapi, jika ku gabungkan semua yang pernah ia berikan kepadaku, semua itu tak memiliki arti apa-apa dibandingkan dengan bejana paling kecil yang diberikan oleh Abu Zar’in.”
Aisyah menuturkan, “Mendengar kisah ini Rasulullah bersabda, ‘Aku bagimu sama seperti Abu Zar’in bagi Ummu Zar’in’.”
Ada bebetapa poin yang perlu digarisbawahi dari kisah ini.
o Wanita sangat mendambakan sentuhan cinta.
o Cinta yang tulus tidak tergantikan oleh gemerlap harta.
o Cinta suci mengusir kebencian.
Kembali pada perjalanan rumah tangga Nabi Muhammad dengan Aisyah r.a.. Tahun ke-9 Hijriah adalah tahun kejayaan bagi kaum muslimin. Di tahun itu kaum muslimin mampu menaklukkan wilayah-wilayah yang cukup jauh dari Madinah. Dengan itu, mereka berhasil mendatangkan harta rampasan yang sangat berlimpah. Maka perbendaharaan Negara pun menjadi semakin kaya. Akan tetapi kejadian itu tidak sedikit pun mengubah kehidupan Rasulullah yang tetap sederhana.
Mengetahui itu, istri-istri nabi yang tidak terbiasa hidup serba kekurangan menuntut agar Rasulullah memberi mereka tambahan tunjangan hidup dan pehiasan. Tentu saja tuntutan-tuntutan itu tak dihiraukan oleh Rasulullah. Beliau tidank ingin mengotori hidupnya dengan kenikmatan duniawi. Dan mengajari istri-istri beliau agar mereka bersabar dalam menghadapi kesulitan. Juga sebagai teladan dalam hal zuhud, bukan teladan dalam kemewahan dan keglamouran hidup.
Meskipun Aisyah dan Hafshah telah menetapkan untuk tidak menuntut Rasulullah, tapi istri-istri yang lain tetap bersikeras untuk menutut tambahan tunjangan hidup kepada Rasulullah. Dalam keadaan bingung ini, Rasulullah memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka dengan mengendarai seekor kuda. Di tengah perjalanan kuda itu tiba-tiba menjatuhkan beliau ke pangkal sebuah pohon kurma hingga kaki beliau terkilir. Belia tidak kembali pada istro-istrinya hingga tunnya firman Allah dalam Surah Al-Ahzab:28-29.
Memang pada umumnya, perempuan dan sikap qona’ah merupaka dua hal yang saling bertentangan dan tidak pernah mau bersatu, bagaikan hubungan air denagn minyak. Akan tetapi, Aisyah meripakan pribadi yang berbeda dengan perempuan pada umumnya. Ia mampu menggabungkan keduanya dengan sangat sempurna.
Jiwa yang suci tak pernah akrab dengan perselingkuhan. Salah satu kelemahan manusia adalah ketidakmampuannya mengendalikan hawa nafsu, terutama hawa nafsu birahi. Maka dari itu dalam agama telah dianjurkan, bagi mereka yang sudah mampu hidup berumah tangga, dan bias mempergauli pasangan dengan baik, sementara libidonya sudah tidak tertahankan untuk segera menikah. Menikah adalah cara sehat yang menghalalkan kedua insan berlainan jenis untuk menumpahkan gelora seksualitasnya.
Tuntutan Rasulullah sangat bijak, bila seorang laki-laki dilanda syahwat saat memandang kecantikan seorang wanita, ia harus melampiaskan gelora nafsunya kepada istrinya. Sebab, hati yang telah ternoda oleh nafsu birahi akan tersucikan dengan ait cinta sang istri. Sungguh! Syahwat terhadap wanita yang bukan mahrom adalah fitnah yang sangat berbahaya.
Ketulusan, air mata cinta yang tak pernah kering. Cinta adalah anugerah sekaligus ujian dari Allah swt. Cinta dapat memotivasi manusia untuk berbagi kebaikan, menolong orang-orang yang mebutuhkan, dan bentuk-bentuk kebijakan lainnya. Namun cinta juga dapat mendorong manusi mempersekutukan Allah. Manusia membutuhkan wahyu untuk merumuskan cinta. Agar cinta selalu memperoleh bimbingan wahyu, yaitu sucikan cinta dari unsur hawa nafsu. Ketulusan adalah mata air cinta. Apabila sebuah keluarga dibangun di atas fondasi ketulusan cinta dan prinsip-prinsip kesucian, pasti akan terwujud bahtera rumah tangga yang tentram dan harmonis. jika suami mampu mempersembahkan cinta yang tulus kepada istri, dan istri pun selalu menunjukkan kasih saying yang tulus kepada suami, keindaha surgawi yang madunya bias direguk dan dinikmati setiap detik akan terwujud.
خَيْرُ النِّسَاءِ إْمْرَأَةٌ إِذَا نَظَرْتَ إِلًيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِىْ نَفْسِهَا وَمَالِكَ
Artinya: sebaik baik istri adalah perempuan yang bila kamu pandang, ia membahagiakanmu; jika kamu perintah, ia selalu mematuhi; dan apabila kamu jauh darinya,ia selalu memeliharara dirinya dan hartamu.
Bagi seorang istri, hadis di atas merupakan kata kunci untuk mengungkapkan makna sebuah ketulusan. Ketiga poin tersebut yng harus diterapkan oleh para istri agar selalu disayang suami. Ketiga unsur tersebut penjabarannya adalah.
o Upaya unytuk selalu membuat suami bahagia. Curahkan perhatian yang tulus kepadanya, terutama saat ia durundung kesedihan.
o Taatilah perintahnya, selama tidak melanggar norma-norma agama.
o Peliharalah kesucian saat suami tadak sedang di rumah.
Alangkah indahnya pabila setiap pasangan bisa memelihara kehormatan diri dan dapat menterjemahkan makna ketulusan yang sesungguhnya dalam keseharian mereka. Rumah tangga yang seperti inilah yanga akan melahirkan generasi-generasi handal yang senantiasa mengusung akhlal karimah dalam menata kemaslahatan di muka bumi ini.
Inilah hakikat cinta sejati, saat manusia tak lagi merasa perihdengan gelombang penderitaan, ketika manusia tak lagi merasa pilu dengan terpaan musibah, tatkala manusia tak lagi merasa cemas dengan pahit getir kehidupan. Semua bias diatasi berkat kepasrahannya kepada Allah dan kekayaan hatinya dalam mereguk surge cinta bersama pasangan hidupnya.
3. PERTIMBANGAN BUKU
Keunggulan ;
1) Buku ini menjelaskan biografi Aisyah juga kisah kidung rumah tangga Rasulullah saw. Sehingga membuat pembaca merasa beruntung.
2) Kata-kata yang tertera dalam buku ini pun mudah untuk dipahami.
3) Dibagi menjadi beberapa bab sehingga pembaca semakin paham.
4) Cocok bagi orang yang ingin berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga.
Kelemahan ;
1) Di cover buku ini tulisannya tidak timbul sehingga bisa menjadi faktor menurunnya minat para pembaca untuk membaca buku ini.
2) Meskipun kata-katanya mudah dipahami, akan tetapi banya paragaf dan cerita yang berulang.