NASIKH WAL MANSUKH
Makalah ini dibuat sebagai syarat memenuhi tugas mata kuliah ulumul qur’an
Dosen pembimbing :
A. Ma’ruf , M. Pdi
Disusun oleh :
Ade Lailatul Q.
Siti Ning Fatimah
Nadia Fauziah
Mita
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
SENGONAGUNG PURWOSARI PASURUAN
2011-2012
Nasaakh Wal Mansukh
1. Pengertian Nasikh
Nasikh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian, yakni: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan.
Ilmu nasikh-mansukh ini adalah ilmu Nasakhi, yaitu ilmu yang membahas ihwal penasakhan (penghapusan dan penggantian) suau peraturan hokum Al-Qur’an. Hamper semua ilama’ menamakannya dengan ilmu nasikh wal mansukh. Hampir semua ulama’ menamakannya dengan ilmu nasikh dan mansukh. Belum ada kesepakatan diantara para ulama’ tentang nasakh, baik menurut bahasa maupun istilah, sehingga masih selalu ada beberapa pengartian untuk masing-masingnya.
Menurut bahasa, kata nasakh itu mempunyai empat macam arti, sebagai berikut.
- Izala (mengahapus) berarti mengahapus sesuatu atau meniadakannya.
- Memindahkan sesuatu yang tetap sama, yaitu memindahkan suatu barang dari satu tempat ketempat lain, tetapi barang itu tetap sama saja.
- Menyalin atau mengutip, artinya menyalin atau mengutip dari satu buku yang lain dengan tetap adanya persamaan antara kutipan dengan yang dikutip.
- Mengubah atau membatalkan sesuatu dengan menempatkan sesuatu yang lain sebagai gantinya.
Nasahk secara singkat. Nasahk ialah menghapuskan hukum syara’ dengan memakai dalil hukum syara’ dengan adanya tenggang waktu, dengan cattan kalau sekiranya tidak ada nasahk itu tentulah hukum yang pertama tetap berlaku.
Definisi nasahk yang salah. Nasahk ialah membatasi keumuman nash yang terdahulu atau menentukan arti lafal mutlaknyadengan nash yang kemudian.
Definisi nasahk yang salah. Nasahk ialah membatasi keumuman nash yang terdahulu atau menentukan arti lafal mutlaknyadengan nash yang kemudian.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'I yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas (muthlaq).Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu pengertian umum('am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak-dalam perkembangan selanjutnya-naskh membatasinya hanya pada satu pengertian.
2. Pengertian Mansukh
Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus/ dihilangkan/ dipindah atau disalin/ dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’ ialah hokum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hokum syara’ yang baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansuhk itu adlah berupa ketentuan hokum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adnya perubahan situasi dan kondisi yang menghedaki perubahan dan penggantian hokum tadi.
Tegasnya, dalam mansuhk itu adlah berupa ketentuan hokum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adnya perubahan situasi dan kondisi yang menghedaki perubahan dan penggantian hokum tadi.
3. Pendapat Tentang Nasikh-Mansukh
Sebagian ulama’ lain yang dipelopori Abu Muslim Al-Ashfihani, berpendirian bahwa nasikh mansukh antar sesame ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi penasakh-an al-Qur’an dengan hadist, karma derajat hadist bagaimanapun lebih randah ddibandingkan dengan al-Qur’an. Padahal, diantara syarat nasikh-mansukh ialah, bahwa pe-nasakh harus lebih unggul derajatnya daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat.
Sedangkan menurut para pendukung nasikh-mansukh dalm al-Qur’an, dilihat dari sisi nasikh-mansukh, surat-surat al-Qur’an dapat dibedakankedalam empat kelompok besar. Pertama, kelompok surat-surat al-Qur’anyang di dalamnya sama sekali tidak ada ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, jumlahnya 43 surat. Kedua, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya dijumpai ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, yang berjumlah 25 surat. Ketiga, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada ayat-ayat nasikhah, sebanyak 6 surat. Keempat, kelompok suratsurat al-Qur’anyang di dalamnya hanya ada ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40.
Berkenaan dengan jumlah ayat yang mansukhah dalam al-Qur’an, mereka berselisih pendapat. Ada yang mengatakan sekitar 500 ayat, tetapi ada juga yang memprakirakan lebih sedikit dari itu. Setelah mencoba mengkompromikan sejumlah ayat yang dianggap nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, Al-Suyuti memprediksi masih ada sekitar 20 hingga 21 ayat yang “terpaksa harus di-nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, tetapi kemudian Syah Waliyullah al-Dahlawi, mencoba mempertemukan ayat-ayat yang oleh al-Suyuti di anggap nasikh-mansukh itu hingga akhirnya tinggal 5 ayat saja yang dianggap belum bisa dikompromikan yakni surat al-Baqarah (2): 180 dengan an-Nisa’ (4): 11, al-Baqarah (2): 240 dengan al-Baqarah (2): 234, al-Anfal (8): 65 dengan al-Anfal (8): 66, al-Ahzab (33): 52 dengan al-Mujadilah (58): 13.
Masing-masing pendapat di atas memiliki sejumlah argumentasi guna memperkuat pendiriannya, baik itu berdasarkan dalil aqli atau daya nalar dan terutama dalil naqli atau periwayatan melalui penafsiran masing-masing terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalil naqli atau tepatnya ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara kontroversial oleh mereka ialah kedua ayat di bawah ini:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Apa saja ayat yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (al-Baqarah : 106).
وَإِذَابَدَّلْنَاآيَةًمَّكَانَآيَةٍ وَاللّهُأَعْلَمُبِمَايُنَزِّلُقَالُواْإِنَّمَاأَنتَمُفْتَرٍبَلْأَكْثَرُهُمْلاَيَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: ‘sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja’. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui” (al-Nahl : 101).
Atas dasar ini maka penafsiran kata ayah terutama yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 106, tidaklah salah atau bahkan lebih tepat jika ditafsirkan dengan ayat Taurat atau Injil yang kemudian digantikan dengan ayat al-Qur’an. Penafsiran didasarkan pada pemahaman bahwa al-Qur’an itu meskipun secara rinci masing-masing surat dan ayatnya memiliki keistimewaan-keistimewaan atau kelebihan-kelebihan tertentu, namun secara umum dan keseluruhan, masing-masing surat atau ayat al-Qur’an adalah memiliki atau derajat yang sama.
Karena kontroversi itu maka jalan terbaik adalah mengkompromikan kedua kelompok ulama tersebut yaitu dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang di kemukakan oleh ulama muta`akhirin sebagaimana mereka meninjau pengertian dari ulama mutakaddimin.
Untuk usaha ini pemikiran Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat ayat al-Qur`an dapat dijadikan sebagai titik tolak. Ia menolak adanya naskh dalam pengertian ” Pembatalan”, tetapi ia dapat menerima dalam arti at-Tabdil ( pengertian / pengalihan / pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain ). Dengan demikian pengertian istilah naskh adalah pengertian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah lain , dalam arti semua ayat al-Qur`an tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif dan yang dibatalkan . Hanya saja terjadi pengertian hukum bagi masyarakat /orang tertentu karena adanya kondisi yang berbeda. Namun demikian, ayat hukum yang tidak berlaku bagi masyarakat dalam satu kondisi dapat berlaku bagi masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman demikian akan sangat membantu dalam pengembangan hukum islam. Sehingga ayat ayat hukum bertahap tetap dapat diberlakukan oleh mereka yang kondisinya sama atau serupa dengan kondisi umat Islam pada awal masa perkembangan Islam.
Untuk usaha ini pemikiran Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat ayat al-Qur`an dapat dijadikan sebagai titik tolak. Ia menolak adanya naskh dalam pengertian ” Pembatalan”, tetapi ia dapat menerima dalam arti at-Tabdil ( pengertian / pengalihan / pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain ). Dengan demikian pengertian istilah naskh adalah pengertian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah lain , dalam arti semua ayat al-Qur`an tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif dan yang dibatalkan . Hanya saja terjadi pengertian hukum bagi masyarakat /orang tertentu karena adanya kondisi yang berbeda. Namun demikian, ayat hukum yang tidak berlaku bagi masyarakat dalam satu kondisi dapat berlaku bagi masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman demikian akan sangat membantu dalam pengembangan hukum islam. Sehingga ayat ayat hukum bertahap tetap dapat diberlakukan oleh mereka yang kondisinya sama atau serupa dengan kondisi umat Islam pada awal masa perkembangan Islam.
Catatan :
- Ulama’ yang mengakui Nasikh dan Mansukh
- Imam Syafi’i
- Ibnu Kasir
- Al-Maroghi
- Muhammad Rosyid Ridho
- Sayid Qutub
- Manna Khalil al-Qattan
- Ulama’ yang menolak nasikh dan mansukh
a. Abu Muslim al-Asfahani (tokoh mu’tazilah)
b. Imam ar-Razi
c. Muhammd Abdu
d. Dr. Taufiq Sidqi
e. Muhammad Khudari Bek
4. Macam-Macam Nasahk dan jenisnya
Para pendukung nasikh-manskuh internal al-Qur’an membedakan nasakh ke dalam tiga macam, yakni:
Para pendukung nasikh-manskuh internal al-Qur’an membedakan nasakh ke dalam tiga macam, yakni:
1. Naskh al-Tilawah wa baqa’ al-Hukmi, yaitu penghapusan al-Qur’an secara tekstual, tetapi tidak ada sedikitpun penghapusan hukum yang terkandung di dalamnya atau hukumnya tetap dinyatakan berlaku. Contohnya ialah pernyataan Umar bin al-Khattab yang menyatakan: “Sekiranya aku tidak khawatir dituduh banyak orang bahwa Umar telah menambah-nambahkan al-Qur’an dengan yang tertulis di dalamnya, niscaya akan aku tuliskan ayat tentang hukuman rajam, dan menyertakannya di dalam al-Mushaf” seraya membacakan ayat:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنيَا فَارْجُمُوْهُمَا اَلْبِتَةً نَكَالاً مِنَ الله ولله عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “ Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana “
2. Naskh al-Hukmi wa Baqa’ al-Tilawah, yakni penghapusan pemberlakuan suatu hukum dengan tidak menghapuskan bacaannya atau teksnya tetap diabadikan. Di antara contohnya adalah perintah mengarahkan kiblat shalat dari Bait al-Maqdis ke Ka’bah, penghapusan puasa selama tiga hari setiap bulan dan asyura’ dengan puasa Ramadan.
3. Naskh al-Tilawah wa al-Hukmi Ma’an, yaitu penghapusan teks al-Qur’an dan sekaligus juga penghapusan hukum yang terkandung di dalamnya. Contoh yang umum dikemukakan ialah riwayat Aisyah yang pernah berkata: “Pada mulanya, diturunkan ayat al-Qur’an (tentang saudara sepersusuan yang haram untuk dinikahi) adalah sepuluh susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima kali susuan yang diketahui, kemudian setelah itu Rasulullah wafat.
Adapun jenis-jenis Nasakh ada empat, yaitu:
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (Naskhul Qur’aani bil Qur’aani). Jenis Nasakh ini telah dipakai oleh orang yang menyetujui Nasakh mengenai kebolehan terjadinya Nasakh
2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah (Naskhul Qur’aani bis Sunnah). Nasakh Al-Qur’an dengan sunnah ini boleh baik ahad maupun mutawatir. Namun jumhur ulama’ tidak memperbolehkan Nasakh menggunakan Hadist ahad karena Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir dan memberi faedah yang meyakinkan. Sedangkan Hadist ahad memberi faedah yang dzanni (dugaan)
3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an (Naskhul Sunnah bil Qur’aani). Nasakh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan dengan Al-Qur’an. Nasakh jenis diperbolehkan oleh jumhur ulama’.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah ((Naskhul Sunnah bis Sunnah), yaitu hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil sennah di Nasakh dengan dalil sunnah pula.
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (Naskhul Qur’aani bil Qur’aani). Jenis Nasakh ini telah dipakai oleh orang yang menyetujui Nasakh mengenai kebolehan terjadinya Nasakh
2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah (Naskhul Qur’aani bis Sunnah). Nasakh Al-Qur’an dengan sunnah ini boleh baik ahad maupun mutawatir. Namun jumhur ulama’ tidak memperbolehkan Nasakh menggunakan Hadist ahad karena Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir dan memberi faedah yang meyakinkan. Sedangkan Hadist ahad memberi faedah yang dzanni (dugaan)
3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an (Naskhul Sunnah bil Qur’aani). Nasakh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan dengan Al-Qur’an. Nasakh jenis diperbolehkan oleh jumhur ulama’.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah ((Naskhul Sunnah bis Sunnah), yaitu hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil sennah di Nasakh dengan dalil sunnah pula.
5. Manfaat mengetahui naskh
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh sangat besar manfaatnya bagi bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak kacau dan kabur. Oleh sebab itu terdapat banyak asar (perkataan sahabat atau tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Mereka harus mengetahui keterangan keterangan yang tegas yang pernah disampaikan oleh Rasulullah dan para sahabanya, harus mengetahui ayat yang posisinya sebagai nasikh dan mansukh, dan juga harus mengetahui ayat mana yang turun lebih dahulu dan datang kemudian.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh sangat besar manfaatnya bagi bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak kacau dan kabur. Oleh sebab itu terdapat banyak asar (perkataan sahabat atau tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Mereka harus mengetahui keterangan keterangan yang tegas yang pernah disampaikan oleh Rasulullah dan para sahabanya, harus mengetahui ayat yang posisinya sebagai nasikh dan mansukh, dan juga harus mengetahui ayat mana yang turun lebih dahulu dan datang kemudian.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Khalil, Manna’, 2000, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Litera Antar Nusa, Jakarta
Anwar, Rosihun, DR., M.Ag., 2008, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung
Anwar, Rosihun, DR., M.Ag., 2008, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tuangkan komentarmu..... ^_^